Pagi itu awal Agustus 2008, aku sudah bersiap-siap untuk
meninggalkan rumah bosku. Sudah dari jauh-jauh hari aku minta ijin pada si Bos
bahwa hari itu aku akan mengambil cuti 2 hari untuk kondangan ke pernikahan
Mbak Tini esok harinya di daerah Pondok Pinang. Tapi seperti biasanya, aku tidak akan meninggalkan rumah
si Bos sebelum semua pekerjaanku selesai. Dari memberi susu dan sarapan pagi
anak-anak, sampai membersihkan kamar dan kamar mandi serta mencuci dan menggosok baju yang kemarin sudah ku jemur pun ku kerjakan
semua. Hingga hampir dzuhur aku baru selesai mengerjakan semuanya. Karena ku
rasa tanggung, maka aku pun menunggu shalat dzuhur dulu baru setelah itu aku
bergegas meninggalkan rumah.
Tas hitam gambar tengkorak yang lagi populer saat itu, yang
baru si Bos beli khusus untuk membawa perlengkapan anak-anak kalau bepergian
pun aku pinjam untuk membawa baju gantiku untuk pergi ke kondangan besok. Hari
ini tujuanku adalah membeli kado di Blok M, dan setelah itu aku akan pergi ke
rumah Bule Atun di Pasar Rebo, menginap di sana sambil menunggu esok hari
saatnya pergi ke acara puncak.
Setelah pamitan dengan orang-orang rumah, aku pun segera
meluncur ke arah Blok M, naik metromini tentunya. Sesampainya di Blok M, aku
segera masuk ke Ramayana yang letaknya di bawah terminal. Di situ ku coba
mencari barang yang pantas untuk ku
kadokan ke Mbak Tini, saudara jauhku dari Cilacap yang menikah dengan orang
Betawi Pondok Pinang. Satu persatu ku susuri outlet-outlet di baseman, sampai
akhirnya ku temukan outlet yang menjual berbagai macam seprei. Ini dia yang ku
cari, pikirku. Lalu ku pilih sebuah seprei dengan warna dan corak yang ku nilai
bagus, lalu ku tanya pelayan berapa harganya. Setelah terjadi tawar-menawar
beberapa saat, aku pun segera membayar seprei tersebut. Lalu akupun pergi arah
robbinson mencari baju yang pantas ku pakai buat kondangan besok.
Setelah jalan kesana kemari, aku menemukan sebuah atasan
cantik lengan panjang berwarna merah
marun. Harganya pun cukup lumayan,
membuatku berpikir dua kali untuk langsung mendapatkannya. Aku tertegun
beberapa saat di depan deretan baju yang ku taksir. Ada beberapa macam warna
dengan corak yang sama, namun tetap pilihanku jatuh pada warna merah marun.
“Lagi milih baju, ya Mbak?” tanya seorang gadis tinggi kurus berjilbab dengan ramahnya.
“Iya nih…”jawabku kalem, hampir tak menghiraukan kedatangannya.
“Kalau milih baju ke Blok M Square aja, Mbak! Di sana murah-murah…”katanya membujuk.
“Lagi milih baju, ya Mbak?” tanya seorang gadis tinggi kurus berjilbab dengan ramahnya.
“Iya nih…”jawabku kalem, hampir tak menghiraukan kedatangannya.
“Kalau milih baju ke Blok M Square aja, Mbak! Di sana murah-murah…”katanya membujuk.
“ O ya?” tanyaku seakan meragukan perkataannya.
“Iya, kemarin saja temanku beli atasan bagus harganya sekitar 70an, tidak seperti disini, kalau tidak seratus ribu ke atas gak bakalan dapet! Aku juga mau ke sana nyari baju. Mbak, mau ikut saya gak?” tanyanya.
Entah kenapa aku seperti kena pelet saat itu, melepaskan baju yang ku taksir begitu saja dan mengikut pada si Mbak yang baru saja ku kenal, yang namanya saja aku tidak tahu.
“Iya, kemarin saja temanku beli atasan bagus harganya sekitar 70an, tidak seperti disini, kalau tidak seratus ribu ke atas gak bakalan dapet! Aku juga mau ke sana nyari baju. Mbak, mau ikut saya gak?” tanyanya.
Entah kenapa aku seperti kena pelet saat itu, melepaskan baju yang ku taksir begitu saja dan mengikut pada si Mbak yang baru saja ku kenal, yang namanya saja aku tidak tahu.
“Kenalin, namaku Dewi!” katanya mengulurkan tangan. Aku pun
segera menjabat tangannya dan menyebutkan namaku.
“Kerja di mana, Mbak? Tanyaku mendahului.
“Aku kerja di butik baju di tanah abang. Kalau Mbak’e kerja dimana?” Dewi balik bertanya.
“Aku babysitter yang lagi cuti, Mbak!” jawabku. Sepanjang jalan menuju Blok M Square, Dewi menggenggam tanganku, aku pun membiarkannya tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Kami pun terus melanjutkan percakapan. Aku merasa beruntung bertemu teman yang enak diajak bicara seperti Dewi. Apalagi setelah Dewi mengaku bahwa dia pun bertempat tinggal tak jauh dari rumah Bosku di Wijaya Timur Raya III.
“Rumah Bosmu nomer berapa?” tanyanya.
“Nomer 2, rumahnya Pak Jenderal!” jawabku bangga dengan pangkat si Bos.
“Ooh…rumah yang tinggi di pertigaan yang gerbangnya dulu catnya kuning emas, yang belum lama ini baru diganti jadi warna…item ya kalo gak salah?”
“Iya betul!” jawabku bersemangat, akupun semakin percaya bahwa si Dewi memang tinggal tak jauh dari komplek rumah si Bos.
“Kerja di mana, Mbak? Tanyaku mendahului.
“Aku kerja di butik baju di tanah abang. Kalau Mbak’e kerja dimana?” Dewi balik bertanya.
“Aku babysitter yang lagi cuti, Mbak!” jawabku. Sepanjang jalan menuju Blok M Square, Dewi menggenggam tanganku, aku pun membiarkannya tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Kami pun terus melanjutkan percakapan. Aku merasa beruntung bertemu teman yang enak diajak bicara seperti Dewi. Apalagi setelah Dewi mengaku bahwa dia pun bertempat tinggal tak jauh dari rumah Bosku di Wijaya Timur Raya III.
“Rumah Bosmu nomer berapa?” tanyanya.
“Nomer 2, rumahnya Pak Jenderal!” jawabku bangga dengan pangkat si Bos.
“Ooh…rumah yang tinggi di pertigaan yang gerbangnya dulu catnya kuning emas, yang belum lama ini baru diganti jadi warna…item ya kalo gak salah?”
“Iya betul!” jawabku bersemangat, akupun semakin percaya bahwa si Dewi memang tinggal tak jauh dari komplek rumah si Bos.
“Aku tinggal di nomer 29, dari rumah bosmu terus aja lurus
ke dalem”katanya.
“Ya…ya! Koq kita bisa ketemu di sini ya? He he…”kataku sambil tertawa ringan.
“Ya…ya! Koq kita bisa ketemu di sini ya? He he…”kataku sambil tertawa ringan.
Sampai di sebuah butik, Dewi membeli beberapa perdalaman
wanita. Akupun ikut membeli beberapa CD dan Bra. Setelah itu Dewi mengajakku
beli minum di Carefour karena haus. Barang-barangku dan barang-barangnya di
titipkan di deposit counter dengan nomer yang sama pula. Ku percayakan nomer
penitipan barang yang Cuma satu-satunya pada si Dewi, dan kamipun segera
menghambur masuk ke Carefour Blok M Square. Tidak lama kemudian kami mendapat sebotol Mizone pilihanku dan sebotol
aqua pilihannya. Akupun segera mengantri di depan kasir. Dewi yang tak sabar
dengan antrian panjang, segera keluar dan menunggu di luar kasir. Ku lihat dia
pun mengambil barang-barang yang kami titipkan di Deposit Counter. Kemudian
duduk di bangku panjang depan Carefour, sambil sesekali berjalan ke sana kemari
seperti orang yang gelisah. Sesekali matanya mengawasiku, dan akupun tersenyum
padanya melihat dia yang nampak sudah tak sabar dengan antrian panjang
tersebut.
Akupun sempat membayangkan jika aku lengah, si Dewi tiba-tiba menghilang di tengah-tengah kerumunan orang banyak membawa kabur barang-barangku, maka habislah semuanya. Tapi segera ku buang jauh rasa curiga tersebut, mana mungkin tetangga membawa kabur barang tetangga, pikirku.
Tapi, rupanya apa yang ku khawatirkan terjadi, sekitar 2 orang lagi antri di depanku, aku kehilangan jejak si Dewi. Entah dia sudah kabur kemana. Bayangannya sama sekali sudah tidak nampak. Aku pun seperti tak percaya. Di depan kasir mataku jelalatan, mencari-cari si Dewi namun tetap tidak ketemu. Begitu keluar dari kasir aku segera menghambur kearah escalator, menengok ke lantai bawah…tapi tetap si Dewi tidak ku temukan. Segera ku miskol hp Sony Ericsonku yang ada di tas dengan hp esia yang ku pegang. Masih aktif, tapi deringnya tidak ku dengar di sekitarku. Beberapa kali ku miskol, sampai kemudian hp SE tersebut pun jadi nonaktif. Akupun tersadar, aku telah tertipu habis-habisan oleh penampilan lugu si Dewi. Sialan pikirku! Kalau dia tidak berniat menipuku, pasti dia tidak akan menonaktifkan hpku, seharusnya dia mengangkat hp tersebut dan bilang kalau dia ada di toilet misalnya. Semprul bener,…ternyata jilbab dan keluguannya hanya tipu daya belaka, awas saja kau Dewi akan ku laporkan kau pada RT setempat sepulang kondangan nanti.
Aku segera berlari keluar dari Blok M Square, dan terus berlari menuju kearah gedung BRI. Pikiranku cuma satu, sekarang juga aku harus berhasil memblokir ATM ku.
Jam 16.30 sore hari itu aku tersengal-sengal di depan gedung BRI Blok M yang terletak di jln Sultan Hasanuddin pas di samping terminal Blok M. Seorang satpam segera menegurku.
“Ada apa, Mbak?” tanyanya.
“Pak, tolong saya, Pak! Saya kecopetan, Pak! Saya mau memblokir ATM saya sekarang juga. Bisa gak ya, Pak?” tanyaku sambil kembang kempis mengatur nafas.
“Sabar Mbak? Sini duduk dulu, tenangkan dulu pikirannya, baru cerita kejadiannya bagaimana?” kata Pak Satpam sembari menggiringku ke tempat duduk. Lalu ku ceritakan kejadiannya dari awal sampai akhir.
Akupun sempat membayangkan jika aku lengah, si Dewi tiba-tiba menghilang di tengah-tengah kerumunan orang banyak membawa kabur barang-barangku, maka habislah semuanya. Tapi segera ku buang jauh rasa curiga tersebut, mana mungkin tetangga membawa kabur barang tetangga, pikirku.
Tapi, rupanya apa yang ku khawatirkan terjadi, sekitar 2 orang lagi antri di depanku, aku kehilangan jejak si Dewi. Entah dia sudah kabur kemana. Bayangannya sama sekali sudah tidak nampak. Aku pun seperti tak percaya. Di depan kasir mataku jelalatan, mencari-cari si Dewi namun tetap tidak ketemu. Begitu keluar dari kasir aku segera menghambur kearah escalator, menengok ke lantai bawah…tapi tetap si Dewi tidak ku temukan. Segera ku miskol hp Sony Ericsonku yang ada di tas dengan hp esia yang ku pegang. Masih aktif, tapi deringnya tidak ku dengar di sekitarku. Beberapa kali ku miskol, sampai kemudian hp SE tersebut pun jadi nonaktif. Akupun tersadar, aku telah tertipu habis-habisan oleh penampilan lugu si Dewi. Sialan pikirku! Kalau dia tidak berniat menipuku, pasti dia tidak akan menonaktifkan hpku, seharusnya dia mengangkat hp tersebut dan bilang kalau dia ada di toilet misalnya. Semprul bener,…ternyata jilbab dan keluguannya hanya tipu daya belaka, awas saja kau Dewi akan ku laporkan kau pada RT setempat sepulang kondangan nanti.
Aku segera berlari keluar dari Blok M Square, dan terus berlari menuju kearah gedung BRI. Pikiranku cuma satu, sekarang juga aku harus berhasil memblokir ATM ku.
Jam 16.30 sore hari itu aku tersengal-sengal di depan gedung BRI Blok M yang terletak di jln Sultan Hasanuddin pas di samping terminal Blok M. Seorang satpam segera menegurku.
“Ada apa, Mbak?” tanyanya.
“Pak, tolong saya, Pak! Saya kecopetan, Pak! Saya mau memblokir ATM saya sekarang juga. Bisa gak ya, Pak?” tanyaku sambil kembang kempis mengatur nafas.
“Sabar Mbak? Sini duduk dulu, tenangkan dulu pikirannya, baru cerita kejadiannya bagaimana?” kata Pak Satpam sembari menggiringku ke tempat duduk. Lalu ku ceritakan kejadiannya dari awal sampai akhir.
Pak satpam pun membantuku dengan menelpon call centre BRI.
Dan akhirnya beberapa saat setelah meminta bantuan si Euceu di rumah Bos, untuk
mengecek nomer rekening buku tabunganku yang ada di laci, petugas call centre
pun sukses memblokir ATMku. Alhamdulillaah…akupun bernafas lega! Biarlah tas
tengkorak punya si Bos bersama dompet dan isinya, KTP, ATM, Kartu antar jemput
anak dari Kinderland Caringin Barat, HP SE, dan juga baju ganti dan sepre yang
baru ku beli tadi jadi milik si Dewi cungkring, asal isi ATMku terselamatkan.
Kalau tidak, apa jadinya? Sia-sialah aku bekerja jadi pengasuh anak orang kaya
selama ini, jika uangku raib semua gara-gara ulah orang yang tidak bertanggung
jawab.
Untung saja, aku masih punya uang 70rb di saku celanaku dan
hp esia sebagai alat komunikasi. Akhirnya dengan sisa uang tersebut ku
lanjutkan perjalananku ke rumah Bule Atun. 50 ribu rupiah ku amplopi buat
kondangan, sisanya buat ongkos kesana kemari. Huufh…beginilah nasib orang yang
terlalu percaya pada orang yang baru di kenal. Jangan sekali-kali lagi terulang
ya Nek! Kalau ada orang yang tidak di kenal tapi sok kenal dan sok deket,
cuekin saja ya! Bilang saja, MAAF AKU BURU-BURU!! L
Berarti belumrejekinya si Mbak untuk memberi hadiah sprei ke temannya. tapi bagus tulisannya, untuk mengingatkan kita agar aware teerhadap sekeliling
ReplyDeletetrima kasih sdh mampir ke blog ini Jeng Rebellina, ...
DeleteMemang, waspada sangat kita perlukan dalam sikon apapun dan bagaimanapun...