Aku masih ingat waktu itu, sehabis lebaran satu minggu aku
kembali mengepak barang-barang yang ku perlukan. Aku berniat kembali ke Jakarta
setelah beberapa tinggal di kampung menghabiskan liburan bersama keluarga di kampung
halaman tercinta. Jam 9 pagi setelah aku berpamitan pada seluruh keluarga, akupun berangkat di antar adikku ke
Banjarsari, sebuah kota kecil dimana banyak bis-bis jurusan Pangandaran-Jakarta
berhenti menunggu penumpang.
Banjarsari selalu saja sibuk. Apalagi di musim lebaran seperti saat itu. Mobil-mobil besar dan kecil hilir mudik tiada henti. Ada yang menuju kearah Pangandaran, ada juga ada yang balik arah ke Banjar, Tasik, Bandung, dan Jakarta. Pasar Banjarsari yang selalu ramai dengan pengunjung yang datang dari berbagai tempat, nampak lebih ramai dari biasanya dengan adanya segerombol orang yang sengaja menunggu kedatangan bis-bis yang akan mengantar mereka ke tujuannya masing-masing. Aku duduk di sebuah sudut di pinggir jalan sambil menunggu barang bawaanku, sebuah tas hitam besar dan sebuah kardus yang isinya kue-kue kering sisa lebaran dan beberapa sisir pisang tanduk mentah. Begitulah Ibuku membekaliku. Beratpun tak jadi masalah, yang penting ada oleh-oleh buat Pale dan Buleku tercinta di Jakarta Timur.
Beberapa bis besar dari Pangandaran yang menuju ke beberapa terminal bis Jakarta dan
Bekasi pun telah lewat. Rupanya bis-bis tersebut telah penuh dengan penumpang,
sehingga mereka lewat begitu saja
tanpa berhenti untuk menambah penumpang
lagi. Sebenarnya ada Bis Merdeka dan Do’a
Ibu yang ngetem dari tadi menunggu penumpang. Sayangnya, bis tersebut
mengambil jalur alternatif, tidak langsung masuk ke tol Cipularang dan langsung
ke terminal Rambutan seperti tujuanku.
Bis Merdeka via Puncak dan Bogor baru masuk ke Jakarta, sedang Bis Do’a Ibu via
Sukabumi. Jalur alternative yang menyimpang jauh dan kadang sama macetnya
dengan jalur langsung via nagrek dan tol cipularang yang jarak tempuhnya lebih
dekat. Sehingga aku tak memilih ikut naik bis tersebut.
Hari mulai siang. Akupun mulai gelisah, ketika bis yang ku
tunggu (biasanya Perkasa Jaya dan Gapuraning Rahayu), tak jua datang. Akhirnya
kuputuskan naik bis Budiman jurusan Pangandaran- Tasikmalaya, nanti dari Tasik aku bisa nyambung ke Jakarta.
Jalanan dari Banjarsari menuju Tasik lumayan lancar. Aku dan bebarapa penumpang
turun di Pool Bis Prima Jasa, Tasikmalaya. Dari situ aku dapat membeli tiket ke
Jakarta dan duduk manis menunggu jam pemberangkatan bis jurusan Tasik-
Rambutan tersebut.
Sekitar ba’da dzuhur, bis yang kutunggu pun berangkat. Aku
dan beberapa penumpangpun bergegas naik
ke bis. Lumayan nyaman juga, meski agak berdesak-desakan setelah ternyata di
sepanjang jalan ada beberapa orang penumpang memaksa masuk, meski tidak tersedia
kursi duduk untuk mereka. Asal terangkut ke Jakarta hari itu juga, mungkin
begitulah pikiran mereka, mengingat keesokan harinya mereka mulai masuk kerja.
Jalanan mulai tersendat, ketika kami mulai masuk ke jalan
nan curam berkelok-kelok di daerah Tasik menuju ke Malangbong, Garut. Bagaimana
tidak macet, bis-bis yang mengangkut arus balik asal Jawa Tengah, Pangandaran,
Banjarsari, Banjar, Ciamis, Tasik, dan Garut, hampir semua memakai jalan berliku tersebut menuju ke Jakarta.
Sehingga mereka harus rela mengantri satu persatu lewat jalanan curam nan
berkelok-kelok tersebut, demi kelancaran perjalanan. Sudah tidak heran lagi, di
musim lebaran jarak Banjarsari-Jakarta yang biasanya bisa ditempuh 8-9 jam
perjalanan itu, bisa ngaret sampai 14-15 jam perjalanan. Artinya jalur merayap
atau macet total di daerah Tasik, Garut, dan Nagrek tersebut menghabiskan waktu
4-5 jam perjalanan sendiri. Lumayan lama dan membosankan, tapi itulah jalan
yang biasa kami tempuh jika mudik lebaran selama ini.
Waktu itu, bis yang kami tumpangi merayap tersendat masih di
kawasan Tasikmalaya menuju Garut. Hari sudah ashar, bahkan mulai gelap, ketika bis kami tetap merayap tersendat tak
ada maju-majunya di kawasan perbukitan yang lumayan jauh dari pemukiman warga.
Sesekali kami lihat satu-dua buah warung makan
di pinggir jalan. Tepat ketika magrib menjelang, jalanan tiba-tiba macet
total, bis tidak bergerak sama sekali. Seperempat, setengah, tiga perempat,
hingga satu jam lamanya, bis kami tetap di tempat, tak bergerak sama sekali. Entah
kenapa demikian, biasanya meski setengah meter-setengah meter bis pasti
bergerak permenit atau perdua menit, ini macet sama sekali. Penumpang pun mulai
resah, ada yang kepanasan, ada yang kelaparan, ada yang ingin buang air kecil,
dan ada pula yang ingin menunaikan shalat magrib.
Karena bis tak kunjung bergerak, satu dua tiga penumpangpun
memberanikan diri turun. Bukan hanya dari bis yang ku naiki, tetapi juga banyak
penumpang dari bis lain yang turun. Ada yang makan, ada yang ke kamar kecil,
ada yang mencari mushola, ada pula yang sekedar duduk-duduk di luar mencari
angin. Aku sendiri keluar bis sebentar untuk membeli air minum di warung yang
letaknya lumayan agak jauh dari bis, dan segera kembali lagi karena takut
ketinggalan. Benar saja dugaanku, tak selang berapa lama, barisan mobil
sepanjang jalan curam berkelok-kelok pun mulai bergerak perlahan. Penumpang
yang masih di luar mobil pun mulai masuk satu persatu. Belum juga semua
penumpang masuk, tiba-tiba bis bergerak cepat. Semua penumpang pun berteriak ke
sopir mengingatkan kalau masih banyak penumpang yang belum masuk. Begitu juga dengan penumpang
bis-bis yang lain ikut berteriak, karena penumpang merekapun masih banyak yang
ada di luar mobil. Tapi rupanya si supir
tidak mungkin menahan terus laju bis karena klakson beruntun dari mobil belakang.
Bis pun terus melaju kencang. Penumpang pun riuh berteriak, terutama penumpang
laki-laki setengah baya yang duduk di bangku paling belakang, yang ternyata 3
orang keponakan perempuannya ketinggalan di warung makan. Begitu bis berhenti
karena jalanan macet lagi. Sang kenek pun tergopoh-gopoh turun mencari
penumpangnya yang ketinggalan. Dari belakang bis, banyak orang-orang berlarian
mengejar dan mencari bisnya
masing-masing. Beberapa penumpang dari bis kami mulai ada yang masuk.
Alhamdulillaaah…kata mereka sambil tersengal-sengal dan menyeka keringatnya. Tapi 3 orang gadis keponakan dari laki-laki
setengah baya itupun belum nampak batang hidungnya. Bis pun kembali melaju kencang. Kini gantian
penumpang berteriak karena mengkhawatirkan si kenek yang ketinggalan bis. Tapi lagi-lagi
Pak supir tidak bisa menahan laju mobil, terus melaju kencang sampai akhirnya
tersendat lagi beberapa ratus meter dari
tempat
semula. Dari kejauhan nampak sang kenek berlari sekuat tenaga mengejar bis. Nafasnya tersengal-sengal dan keringatnya
bercucuran. Begi tu sampai ke bis, sang kenek pun terpuruk lunglai. Sementara
sang paman dari 3 orang gadis yang ketinggalan bis tersebut terlihat sangat
gelisah, sebentar-sebentar melihat ke luar jendela bis dengan mulut yang tak
hentinya ngomel. Tapi rupanya bis sudah terlalu jauh meninggalkan ke 3
keponakannya. Sehingga dia sendiri akhirnya kelihatan pasrah. Untungnya mereka
ketinggalan di warung makan, artinya sedikit banyaknya mereka pasti pegang
uang. Benar saja, setelah diperiksa dompet mereka tidak ada di dalam tas. Maka
legalah hati sang paman, menyadari ketiga keponakannya tidak akan
terlunta-lunta di jalanan.
Bis kami pun akhirnya melaju kencang, tak ada lagi jalanan macet. Para penumpang dan kenek pun terdiam dan tertidur kecapaian. Sampai akhirnya jam 11 lebih, bis kami pun sampai di tujuan akhir, terminal bis kampung rambutan. Lega rasanya sampai di tujuan, meski telat sampai larut malam. Aku segera mengirim sms ke Pale dan Buleku kalau aku baru sampai di Kampung Rambutan. Paleku pun menjemputku di pertigaan formos Pasar Rebo. Sampai di rumah Pale, ku ceritakan pengalaman hebohku tersebut ke Buleku. Buleku pun tak jadi langsung tidur karena ku ajak ngobrol. Sungguh perjalanan yang menguras waktu dan menguras tenaga, namun menggoreskan kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Lebaran oh lebaran…gara-gara lebaran, macetlah semua jalanan.
Bis kami pun akhirnya melaju kencang, tak ada lagi jalanan macet. Para penumpang dan kenek pun terdiam dan tertidur kecapaian. Sampai akhirnya jam 11 lebih, bis kami pun sampai di tujuan akhir, terminal bis kampung rambutan. Lega rasanya sampai di tujuan, meski telat sampai larut malam. Aku segera mengirim sms ke Pale dan Buleku kalau aku baru sampai di Kampung Rambutan. Paleku pun menjemputku di pertigaan formos Pasar Rebo. Sampai di rumah Pale, ku ceritakan pengalaman hebohku tersebut ke Buleku. Buleku pun tak jadi langsung tidur karena ku ajak ngobrol. Sungguh perjalanan yang menguras waktu dan menguras tenaga, namun menggoreskan kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Lebaran oh lebaran…gara-gara lebaran, macetlah semua jalanan.
No comments:
Post a Comment