Sunday, August 11, 2013

Kisah Heboh Pulang ke Jakarta 2011

Aku masih ingat waktu itu, sehabis lebaran satu minggu aku kembali mengepak barang-barang yang ku perlukan. Aku berniat kembali ke Jakarta setelah beberapa tinggal di kampung menghabiskan liburan bersama keluarga di kampung halaman tercinta. Jam 9 pagi setelah aku berpamitan pada seluruh keluarga,  akupun berangkat di antar adikku ke Banjarsari, sebuah kota kecil dimana banyak bis-bis jurusan Pangandaran-Jakarta berhenti menunggu penumpang.

Banjarsari selalu saja sibuk. Apalagi di musim lebaran seperti saat itu. Mobil-mobil besar dan kecil hilir mudik tiada henti. Ada yang menuju kearah Pangandaran, ada juga ada yang balik arah ke Banjar, Tasik, Bandung, dan Jakarta. Pasar Banjarsari yang selalu ramai dengan pengunjung  yang datang dari berbagai tempat, nampak lebih ramai dari biasanya dengan adanya segerombol orang yang sengaja menunggu kedatangan bis-bis yang akan mengantar mereka ke  tujuannya masing-masing. Aku duduk di sebuah sudut di pinggir jalan sambil menunggu barang bawaanku, sebuah tas hitam besar dan sebuah kardus yang isinya kue-kue kering  sisa lebaran dan beberapa sisir pisang tanduk mentah. Begitulah Ibuku membekaliku. Beratpun tak jadi masalah, yang penting ada oleh-oleh buat Pale dan Buleku tercinta di Jakarta Timur.
Beberapa bis besar dari Pangandaran yang  menuju ke beberapa terminal bis Jakarta dan Bekasi pun telah lewat. Rupanya bis-bis tersebut telah penuh dengan penumpang, sehingga mereka lewat begitu  saja tanpa  berhenti untuk menambah penumpang lagi. Sebenarnya ada Bis Merdeka dan Do’a  Ibu yang ngetem dari tadi menunggu penumpang. Sayangnya, bis tersebut mengambil jalur alternatif, tidak langsung masuk ke tol Cipularang dan langsung ke terminal  Rambutan seperti tujuanku. Bis Merdeka via Puncak dan Bogor baru masuk ke Jakarta, sedang Bis Do’a Ibu via Sukabumi. Jalur alternative yang menyimpang jauh dan kadang sama macetnya dengan jalur langsung via nagrek dan tol cipularang yang jarak tempuhnya lebih dekat. Sehingga aku tak memilih ikut naik bis tersebut.

Hari mulai siang. Akupun mulai gelisah, ketika bis yang ku tunggu (biasanya Perkasa Jaya dan Gapuraning Rahayu), tak jua datang. Akhirnya kuputuskan naik bis Budiman jurusan Pangandaran- Tasikmalaya, nanti  dari Tasik aku bisa nyambung ke Jakarta. Jalanan dari Banjarsari menuju Tasik lumayan lancar. Aku dan bebarapa penumpang turun di Pool Bis Prima Jasa, Tasikmalaya. Dari situ aku dapat membeli  tiket ke  Jakarta dan duduk manis menunggu jam pemberangkatan bis jurusan Tasik- Rambutan tersebut.
Sekitar ba’da dzuhur, bis yang kutunggu pun berangkat. Aku dan beberapa penumpangpun  bergegas naik ke bis. Lumayan nyaman juga, meski agak berdesak-desakan setelah ternyata di sepanjang jalan ada beberapa orang penumpang memaksa masuk, meski tidak tersedia kursi duduk untuk mereka. Asal terangkut ke Jakarta hari itu juga, mungkin begitulah pikiran mereka, mengingat keesokan harinya mereka mulai masuk kerja.

Jalanan mulai tersendat, ketika kami mulai masuk ke jalan nan curam berkelok-kelok di daerah Tasik menuju ke Malangbong, Garut. Bagaimana tidak macet, bis-bis yang mengangkut arus balik asal Jawa Tengah, Pangandaran, Banjarsari, Banjar, Ciamis, Tasik, dan Garut, hampir semua memakai  jalan berliku tersebut menuju ke Jakarta. Sehingga mereka harus rela mengantri satu persatu lewat jalanan curam nan berkelok-kelok tersebut, demi kelancaran perjalanan. Sudah tidak heran lagi, di musim lebaran jarak Banjarsari-Jakarta yang biasanya bisa ditempuh 8-9 jam perjalanan itu, bisa ngaret sampai 14-15 jam perjalanan. Artinya jalur merayap atau macet total di daerah Tasik, Garut, dan Nagrek tersebut menghabiskan waktu 4-5 jam perjalanan sendiri. Lumayan lama dan membosankan, tapi itulah jalan yang biasa kami tempuh jika mudik lebaran selama ini.
Waktu itu, bis yang kami tumpangi merayap tersendat masih di kawasan Tasikmalaya menuju Garut. Hari sudah ashar, bahkan mulai gelap,  ketika bis kami tetap merayap tersendat tak ada maju-majunya di kawasan perbukitan yang lumayan jauh dari pemukiman warga. Sesekali kami lihat satu-dua buah warung makan  di pinggir jalan. Tepat ketika magrib menjelang, jalanan tiba-tiba macet total, bis tidak bergerak sama sekali. Seperempat, setengah, tiga perempat, hingga satu jam lamanya, bis kami tetap di tempat, tak bergerak sama sekali. Entah kenapa demikian, biasanya meski setengah meter-setengah meter bis pasti bergerak permenit atau perdua menit, ini macet sama sekali. Penumpang pun mulai resah, ada yang kepanasan, ada yang kelaparan, ada yang ingin buang air kecil, dan ada pula yang ingin menunaikan shalat magrib.

Karena bis tak kunjung bergerak, satu dua tiga penumpangpun memberanikan diri turun. Bukan hanya dari bis yang ku naiki, tetapi juga banyak penumpang dari bis lain yang turun. Ada yang makan, ada yang ke kamar kecil, ada yang mencari mushola, ada pula yang sekedar duduk-duduk di luar mencari angin. Aku sendiri keluar bis sebentar untuk membeli air minum di warung yang letaknya lumayan agak jauh dari bis, dan segera kembali lagi karena takut ketinggalan. Benar saja dugaanku, tak selang berapa lama, barisan mobil sepanjang jalan curam berkelok-kelok pun mulai bergerak perlahan. Penumpang yang masih di luar mobil pun mulai masuk satu persatu. Belum juga semua penumpang masuk, tiba-tiba bis bergerak cepat. Semua penumpang pun berteriak ke sopir mengingatkan kalau masih banyak penumpang  yang belum masuk. Begitu juga dengan penumpang bis-bis yang lain ikut berteriak, karena penumpang merekapun masih banyak yang ada di luar mobil.  Tapi rupanya si supir tidak mungkin menahan terus laju bis karena klakson beruntun dari mobil belakang. Bis pun terus melaju kencang. Penumpang pun riuh berteriak, terutama penumpang laki-laki setengah baya yang duduk di bangku paling belakang, yang ternyata 3 orang keponakan perempuannya ketinggalan di warung makan. Begitu bis berhenti karena jalanan macet lagi. Sang kenek pun tergopoh-gopoh turun mencari penumpangnya yang ketinggalan. Dari belakang bis, banyak orang-orang berlarian mengejar dan mencari  bisnya masing-masing. Beberapa penumpang dari bis kami mulai ada yang masuk. Alhamdulillaaah…kata mereka sambil tersengal-sengal dan menyeka keringatnya. Tapi  3 orang gadis keponakan dari laki-laki setengah baya itupun belum nampak batang hidungnya.  Bis pun kembali melaju kencang. Kini gantian penumpang berteriak karena mengkhawatirkan  si kenek yang ketinggalan bis. Tapi lagi-lagi Pak supir tidak bisa menahan laju mobil, terus melaju kencang sampai akhirnya tersendat lagi  beberapa ratus meter dari  tempat  semula. Dari kejauhan nampak sang kenek berlari sekuat tenaga mengejar  bis. Nafasnya tersengal-sengal dan keringatnya bercucuran. Begi tu sampai ke bis, sang kenek pun terpuruk lunglai. Sementara sang paman dari 3 orang gadis yang ketinggalan bis tersebut terlihat sangat gelisah, sebentar-sebentar melihat ke luar jendela bis dengan mulut yang tak hentinya ngomel. Tapi rupanya bis sudah terlalu jauh meninggalkan ke 3 keponakannya. Sehingga dia sendiri akhirnya kelihatan pasrah. Untungnya mereka ketinggalan di warung makan, artinya sedikit banyaknya mereka pasti pegang uang. Benar saja, setelah diperiksa dompet mereka tidak ada di dalam tas. Maka legalah hati sang paman, menyadari ketiga keponakannya tidak akan terlunta-lunta di jalanan.

Bis kami pun akhirnya melaju kencang, tak ada lagi jalanan macet. Para penumpang dan kenek pun terdiam dan tertidur kecapaian. Sampai akhirnya jam 11 lebih, bis kami pun sampai di tujuan akhir, terminal bis kampung rambutan.  Lega rasanya sampai di tujuan, meski telat sampai larut malam. Aku segera  mengirim sms ke Pale dan Buleku kalau aku baru sampai di Kampung Rambutan. Paleku pun menjemputku di pertigaan formos Pasar Rebo. Sampai di rumah Pale, ku ceritakan pengalaman hebohku tersebut ke Buleku. Buleku pun tak jadi langsung tidur karena ku ajak ngobrol. Sungguh perjalanan yang menguras waktu dan menguras tenaga, namun menggoreskan kenangan yang  tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Lebaran oh lebaran…gara-gara lebaran, macetlah semua jalanan.

No comments:

Post a Comment