Sunday, August 11, 2013

Kisah si Kecil

Ini adik kecilku, namanya Siti. Gadis kecil kurus imut berusia sekitar 8 tahun ini sudah sering keluar masuk rumah sakit. Sebenarnya dia anak yang cerdas, bayangkan saja ketika dia berusia 18 bulan dia sudah lancar berbicara, tanpa cadel sedikitpun. Bahkan yang lebih mengherankan lagi, setiap kali nonton acara music di TV, dia bisa ikut menyanyikan lagu-lagu yang ditayangkan TV tersebut. Bapaknya sendiri merasa heran ketika nonton acara “happy song”nya Choki Sitohang yang populer di Indosiar tiap jam 1 siang saat itu, dia bisa ikut menyanyikan lagu tebakan di acara tersebut, padahal pada waktu itu dia belum masuk sekolah.
Seperti halnya anak-anak kecil seusia dia yang lain di kampung kami, ketika dia berusia 4-5 tahun dia masuk sekolah Paud. Di sini, dia dituntut diantaranya untuk menghafal do’a-do’a, shalawatan, surat-surat pendek beserta artinya, dan bacaan shalat. Hasilnya lumayan, sepulang sekolah tanpa diminta atau ditanya oleh Bapak/Ibunya dia akan mengulang lagi hafalan yang diberikan oleh gurunya tadi. Memang harus ku akui, meski dia anak kampung biasa yang makanannya biasa saja dan jauh dari kata gizi tercukupi (lihat saja badannya yang kurus), tapi otaknya tumbuh cemerlang. Lihat saja ketika ia ditanya apa cita-citanya kalau sudah besar nanti? Dia jawab dengan tegas, dia ingin jadi penyanyi, masuk TV biar punya banyak uang untuk meraih cita-citanya yang kedua yaitu menjadi seorang dokter. Waah.. lucu ya??…terlalu muluk!!! tetapi begitulah pernyataan polos seorang gadis kecil yang menyadari bahwa kedua orang tuanya tidak setiap hari punya uang. Ya…cita-cita kan boleh setinggi  langit! Tercapai atau tidaknya itu urusan belakangan. Yang penting orang itu harus punya cita-cita dulu, itu artinya dia punya tujuan dalam hidupnya. Begitu kata Pak Hendar, dosenku.

Waktupun  berlalu…belum sampai setahun Siti mengenyam pendidikan di Paud, dia jatuh sakit. Aku sudah menduga sebelumnya, pasti ada yang error dengan kesehatannya. Selama ini dia sering mengeluh sakit perut dan sakit kepala. Sering sekali, bukan hanya satu atau dua kali, meski akhirnya sembuh setelah diminumi obat warung. Tapi kali ini, dia bukan sakit seperti biasanya. Pasalnya, ketika dia sedang main ayunan bersama teman-temannya, dia yang kebagian tugas mengayun temannya, terlalu bersemangat mendorong ayunan tersebut hingga ayunan pun bergerak kencang. Sampai akhirnya ayunan kencang  tersebut tak bisa dikendalikan lagi dan menabrak pas di bagian perutnya  hingga dia jatuh terpental. Dia mengerang  kesakitan sambil memegangi perutnya dan pulang ke rumah. Seperi biasanya, Ibu hanya memberinya obat warung biasa, dan memanggil tukang urut untuk memijit perutnya kalau-kalau ada urat yang salah  bekas tertabrak ayunan. Tapi, Siti tak kunjung sembuh, dia malah tidak mau makan sama sekali. Tentu saja ini membuat Ibu dan Bapak jadi bingung. Akhirnya mereka membawanya ke Dokter Suci, dokter Puskesmas kecamatan Lakbok yang namanya memang sudah terkenal di beberapa kecamatan sekitar. Namun sayang, melihat keadaan Siti yang selalu muntah bila dikasih makan, Sang Dokterpun menyatakan dirinya tidak sanggup menangani kasus ini sendiri, dan merujuk dia untuk dibawa segera ke dokter spesialis anak di RS Banjar, untuk perawatan yang lebih baik.
Benar saja, setelah di rontgen dan diperiksa secara teliti di sebuah rumah sakit swasta di Banjar, Siti pun dinyatakan dokter terkena usus buntu dan harus dioperasi sesegera mungkin. Tentu saja kami jadi panik. Untungnya, saat itu aku yang bekerja sebagai baby sitter di Jakarta, masih punya tabungan cukup untuk biaya operasi nya, meski Bapakku juga harus menghutang 3 juta rupiah lagi ke Kakak Sepupuku, karena takut nanti uang dariku nanti tidak akan cukup.

Adalah kejadian yang membuatku terharu dan meneteskan air mata, ketika Ibuku menelponku sesaat ketika Siti selesai dioperasi. Siti yang sudah beberapa hari tidak makan dan minum, karena selalu muntah itu, tiba-tiba merengek meminta minum karena saking hausnya. Sementara pesan dokter yang mengoperasinya, dia tidak boleh di kasih makan dan minum  dulu kalau dia belum pup. Aku mendengar sendiri suara rengekannya lewat telepon, “Maak, Siti haus Maaak!...Siti mau minum, sedikiiit saja, Maak! Masak gak boleeh…, Siti lapar Maak, Siti mau makaan!...” rengeknya berkali-kali  sambil terisak. Ibuku yang tidak tahan mendengar rengekannya pun ikut meneteskan air mata, seraya berkata dengan suaranya yang parau,”Oalaah Ti, bukane Mamak pelit, tapi jere Doktere, Siti urung olih mangan karo nginum, arep kepriwe maning…. ya sing sabar bae ya, Ti!” ( Oalaah Ti, bukannya Mamah pelit, tapi kata Dokter,  Siti belum boleh makan minum, mau bagaimana lagi…sabar saja ya, Ti! )
Aku yang tidak tahan mendengar rengekan Siti langsung bertanya ke Dr Evita, bosku yang juga dokter anak,  apakah benar anak yang baru dioperasi tidak boleh dikasih makan dan minum? Sampai kapan? Dia sudah kehausan dan kelaparan apa tidak ada jalan lain untuk menghilangkan lapar dan hausnya itu? Tapi Bu Dokter hanya menenangkanku, itu memang hal biasa katanya, jangan terlalu dibuat cemas. Aku pun sedikit lega, apalagi keesokan harinya mendengar Siti sudah boleh makan dan minum lagi seperti biasa.
Alhamdulillah, akhirnya setelah menghabiskan biaya total sekitar 8 juta rupiah, Sitipun akhirnya boleh pulang ke rumah, meski harus cek up bila obat yang dikasih Dokter sudah habis. Benar saja, cek up ke dokter menjadi kebiasaan rutinnya tiap bulan. Tidak seperti pasien yang lain, jika sudah selesai operasi, benangnya sudah di cabut ya sudah tinggal tunggu sembuhnya. Rupanya ada yang error dengan perut adikku ini, tiap kali obat habis dia pun mengeluh sakit perut lagi. Begitu dan begitu terus, sampai 2 tahun lamanya berlangganan cek up ke dokter yang sama, dan menghabiskan uang sekitar 250ribu-300ribu setiap kali cek upnya. Biaya yang lumayan mahal untuk ukuran orang kampung seperti kami. Pernah suatu hari, dia kumat dengan gejala yang sama, selalu muntah bila dikasih makan, dokter sudah memfonisnya harus dioperasi ulang karena dinilai operasi pertamanya tidak sukses. Mendengar ucapan dokter, Ibuku kontan marah, “Bagaimana sih dokter ini, memang dokter tidak kasihan ya lihat perut anak kecil di edhel-edhel…kenapa bisa operasi yang dulu tidak sukses? Dokter mau main-mainin anak saya ya?”…katanya berang. Untung saja, selang beberapa saat obat dari dokter bereaksi, Siti langsung minta makan dan minum. Ibu, Bapak, Paman, Bibi, Dokter dan Perawat yang sudah tegangpun ikut berucap syukur Alhamdulillah dengan perkembangan tersebut.
“Kalau Siti sudah bisa makan dan minum dan tidak muntah-muntah lagi, artinya dia tidak kenapa-napa. Dia akan sembuh…dan boleh pulang, Bu!” kata Dokter yang juga merasa tidak terbebani lagi dengan perkembangan kesehatannya.
“Ya, Bu! Hatur nuhun…”kata Ibuku lega.
Sejak saat itu Siti jarang cek up lagi, kecuali sesekali saja kalau dia mengeluh sakit perut dan selalu muntah. Seperti halnya beberapa bulan yang lalu, lama tidak cek up ke Dokter, mungkin dia kangen dengan Dokter yang menanganinya. Semua gara-gara semangkok indomie yang dilahapnya seusai main bersama teman-temannya. Dia mengeluh sakit perut sesudahnya, Ibuku mengira dia merka, terlalu banyak makan. Sehingga dia cuma mengelus-ngelus perut anaknya seraya melafalkan mantera, ”satu centong buat Bapak, satu centong buat Mamak, satu centong buat Aang Igit, satu centong buat Aang Upat, satu centong buat Teteh Janah, satu centong buat Yayuk Warni, satu centong buat Mamang Emin, satu centong buat Bibi Isem,…”dan seterusnya. Tapi sakitnya tidak kunjung sembuh, bahkan semalaman dia tidak bisa tidur, dan tidak pula makan dan minum keesokan harinya.
Karena khawatir, Ibu dan Bapakku pun membawanya kembali ke dokter langganannya. Setelah cek up ini itu, akhirnya dokter memberikan resep obat seraya berkata, “Siti tidak apa-apa, Bu! Dia cuma kena maag saja, jangan lagi-lagi dikasih makan mie instan ya! Ini resep obat yang harus Ibu tebus! Semoga lekas sembuh…” katanya.
Bapakku pun segera menyusuri lorong rumah sakit umum Banjar tersebut, menuju ke apotik.
Di depan apotik dia mengantri sebentar menunggu obat yang akan ditebusnya. Sementara Siti duduk berdampingan dengan Ibunya di kursi tunggu. Tak lama kemudian satu-persatu apoteker memanggil daftar antrian hingga akhirnya sampailah saatnya nama adikku dipanggil, “Siti Nuryanti!”…
“Ya, Pak!” bapakku menjawab sigap. Apoteker pun menjelaskan dosis obat yang harus diminum, di akhiri dengan menyebutkan jumlah harga obat yang harus dibayar, yang totalnya 400ribu rupiah lebih. Bapakku pun tercengang, karena tahu uang yang ada di dompetnya tidak cukup untuk menebus obat. Saking bingungnya dia berkata,” Waduuh…maaf, Pak! Terus terang uang saya tidak cukup untuk menebus obat itu, bisa tidak kalau obatnya diganti dengan obat sejenis yang lebih murah!” katanya menahan malu. Ibuku yang mendengar hal itu pun ikut kelihatan resah, “bagaimana ini?” katanya kebingungan. Tiba-tiba seorang lelaki setengah baya pun datang menghampiri, “Ku naon Ibu, artosna teu cekap kangge nebus obat?/ Kenapa Bu, uangnya tidak cukup untuk nebus obat?” tanyanya dengan logat Sundanya. “Sumuhun, Pak!...da biasana upami cek up murangkalih ka dieu mung seep 300an rebu, ayeuna mah  kedah aya 400rebu langkung, duka bade kumaha tah Bapana murangkalih!/iya Pak!...biasanya kalau cek up anak ke sini cuma habis 300an ribu, sekarang harus ada 400ribu lebih, entah mau bagaimana tuh Bapaknya anak-anak!...”
Laki-laki itupun menghampiri Bapakku, seraya bertanya” Bagaimana jadinya, Pak? Uangnya kurang?”
“iya ni, Pak! Uangnya kurang, jadi saya minta tukar obat sirupnya dengan pil yang  harganya lebih murah..”Bapakku menjelaskan
“Aduuh kasihan…! Nanti anaknya gak sembuh-sembuh, Pak! Sudah, minta obat sesuai resep dokter saja, ini saya tambahin uangnya biar cukup untuk nebus obat!”katanya sembari menyodorkan uang sebesar 150ribu. “Tapi, Pak! Nanti saya gimana ngembalikan uangnya?” Tanya Bapakku kuatir. “Sudah, saya ikhlas koq! Terima saja uangnya buat berobat adek…mudah-mudahan adeknya lekas sembuh!” katanya sembari tersenyum. Bapak dan Ibuku pun berterima kasih pada laki-laki yang mengaku berasal dari Pangandaran itu. Alhamdulillaah…ada saja malaikat penolong yang datang tiba-tiba. Tuhan memang tidak akan membiarkan hambanya selalu dalam kesusahan, sepanjang kita percaya pada-Nya, akan selalu ada jalan keluar meski terkadang dengan cara yang tidak disangka-sangka sekalipun. Terima kasih malaikat penolong, mudah-mudahan amal ikhlas Bapak diterima oleh ALLAH SWT. Dan mudah-mudahan pula ALLAH SWT akan menggantinya dengan rejeki yang berlipat ganda. Amiiin ya rabbal Alamiiiin….
Dengan obat tersebut, Siti pun sembuh dari maagnya, bahkan sekarang nafsu makannya bertambah. Lebaran kemarin saat kami berkeliling ke rumah tetangga, ada saja makanan yang di makannya di setiap  rumah. Dia makan bolu, astor, pudding, agar-agar, permen, buah-buahan, sampai rempeyek pun dia makan. Terakhir, dia masih bisa makan sepiring ketupat sayur di rumah Bule Tasilah di Kelapa Sawit. Bahkan dia masih sempat menghabiskan beberapa buah jeruk di rumah Bude Pariyem. Aku sampai khawatir melihatnya, “Ti, apa kamu belum kenyang? Koq dari tadi masih makan terus! Apa gak takut perutnya meledak?” Siti hanya tertawa lebar mendengar kata-kataku. Mudah-mudahan dia benar-benar sembuh dan sehat walafiat seterusnya. Amiiin ya rabbal alamiiin…Kasihan sekali adik kecilku ini harus cek up bolak-balik terus ke rumah sakit. Terutama kasihan pada Bapakku yang sudah tua, harus terbebani dengan biaya kesehatan si bungsu ini.
Sejak saat itu, Siti cengeng memang tidak secerdas dulu lagi sebelum dia sakit dan dioperasi entah trauma atau kenapa. Tapi, dia tetap cerewet dan ngangenin orang-orang yang ada di sekelilingnya. Terutama seperti hari ini, di suasana lebaran rumah terasa sepi tanpa kehadiran Siti, karena dia menginap di rumah kakeknya di Banjarsari sejak lebaran, 2 hari yang lalu. Dia tidak mau ikut pulang karena mau main sepuasnya dengan Dimas dan Rena, kakak sepupunya. Mumpung libur sekolah, katanya yang sekarang duduk di kelas 3 MI Cigobang ini.

1 comment: